Jumat, 15 Agustus 2014

Pemikiran Multatuli Masih Relevan




MESKIPUN diterbitkan pertama kali pada 1860, pemikiran Eduard Douwes Dekker –yang dikenal dengan nama Multatuli— dalam bukunya yang berjudul Max Havelar masih relevan dikaitkan dengan konteks kekinian. Kaitan itu terasa dari masih adanya praktik penindasan rakyat melalui tindak pidana korupsi oleh para penguasa.

“Perilaku korupsi oleh penguasa yang terjadi saat ini hampir sama dengan masa ketika Multatuli hidup. Kekuasaan yang seharusnya dipakai untuk membuat rakyat sejahtera justru dipakai memperkaya kelompok tertentu,” ungkap dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Ibnu Wahyu, dalam diskusi dan peluncuran buku Max Havelar, di Erasmus Huis, Jakarta, Selasa (12 Agustus 2014). Hadir pula penyunting dari Penerbit Padasan, Laora Arkeman.

Ibnu mengatakan, semasa hidupnya, Multatuli dikenal atas sikap kritisnya terhadap sistem tanam paksa yang merugikan kaum pribumi ketika dia menjadi Asisten Bupati Lebak, Banten, pada 1856. Meski praktik itu terjadi pada masa kolonial, toh hingga kini penindasan terhadap rakyat masih terjadi.

Laura Arkeman, sebagai penyunting buku Max Havelar, mengatakan, Multatuli menawarkan cara memberantas korupsi dengan berani menyatakan kebenaran. “Multatuli mengingatkan, jika kita takut menyatakan kebenaran kepada atasan atau orang-orang di sekeliling kita, maka praktik feodalisme akan terus terjadi,” tutur Laora.

Meskipun pemikiran Multatuli masih relevan, Ibnu mengingatkan pembaca untuk memahami pemikiran dalam buku ini secara kritis, mengingat buku itu ditulis orang asing. “Perlu ada penelitian lebih lanjut untuk membuktikan apakah Bupati Lebak betul-betul sudah menyengsarakan rakyat,” kata Ibnu. Selain itu, menurut Ibnu, sifat egois Multatuli yang terasa dalam buku ini juga perlu dikritik.

Buku Max Havelar yang diterbitkan Penerbit Padasan didasarkan pada terjemahan HB Jassin atas dukungan Nederlands Letterenfonds dan majalah sastra Horison. Laora Arkeman mengatakan, buku ini sengaja dhadirkan dalam ejaan dan gaya bahasa lama. *** (Sumber: Harian Kompas, 14 Agustus 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar