SETELAH kehilangan Hindia-Belanda (Nederlands-Indiƫ) yang merdeka sebagai Republik Indonesia, Belanda bersikeras mempertahankan Nieuw-Guinea (NG, Irian Barat, Irian Jaya, Papua). Jadi, apa yang sesungguhnya masih ingin dicari Belanda di Papua?
Pada masa itu, koloni NG berbeda dengan daerah koloni lain di Hindia-Belanda. Sebagian besar wilayahnya yang masih tertutup hutan perawan, selain perang antar-suku dan tradisi mengayau yang masih subur di NG, membuat penjajah Belanda tidak terlalu peduli dengan NG. Bahkan, Belanda menyebut manusia dan masyarakat Papua itu layaknya masih hidup “di zaman batu”.
Jan Van Eechoud, Residen NG di masa PD (Perang Dunia) II, dan kerap dijuluki sebagai “Bapa Papoea” (Vader der Papoea’s), adalah seorang pionir Belanda yang terus berjuang untuk membuka daerah-daerah terisolir di NG. Dalam kesaksiannya, dia justru banyak mengritik pemerintah kolonial Belanda karena tidak serius membangun NG (Papua). Akhirnya, Belanda harus hengkang dari Papua untuk selamanya setelah 135 tahun berada di Tanah Papua itu (Agustus 1828 – Mei 1963).
Penulis buku ini, Laksamana Madya TNI (purn) Freddy Numberi, berupaya untuk meneliti sejumlah kepustakaan yang ada, yang rata-rata dalam Bahasa Belanda, karena Ambassador Freddy Numberi sendiri adalah juga Putera Papua yang fasih dan menguasai Bahasa Belanda. Sejumlah literatur berbahasa Belanda itu, tentunya ditambah bahan-bahan kepustakaan lain yang berbahasa Inggris dan Indonesia, kemudian dituangkan dalam buku ini: “Papua, Kerikil Dalam Sepatu, Menguak Tabir Sejarah Papua” (Revealing the History of Papua).
Secara umum, buku ini mencakup periode pendudukan Belanda terhadap Tanah Papua (24 Agustus 1828 – 1 Mei 1963), termasuk tahun Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, dan kemudian Resolusi PBB 2504 (XXIV) tanggal 19 November 1969.
Ada sejumlah Komentar Tokoh yang dimuat dalam buku ini. Sangat penting untuk dibaca agar pengetahuan dan pemahaman kita tentang PAPUA semakin komprehensif. ***